Saat Ibu hendak ke pasar, saya menyempatkan diri menyuruh beli sesuatu.
"Beli batere tengah dua biji ya, Bu."
radio transistorIbu saya tak berkomentar. Ia telah lama mafhum untuk apa
batere sebanyak itu. Itu untuk radio transistor. Engkau bertanya untuk
apa pula radio transistor? Dan kenapa pula harus memakai batere di saat
rumah terang benderang oleh listrik?
Baik, saya ceritakan. Radio transistor untuk menangkap siaran dari
sebuah stasiun radio di kabupaten sebelah yang memutar sandiwara radio.
Kenapa mesti memakai batere? Sebab siaran radio dari kabupaten sebelah
yang berada di jalur AM sangat lemah mengingat jarak yang berpuluh
kilometer. Radio transistor bertenaga batere lebih sensitif menangkap
siaran lemah tinimbang radio bertenaga listrik. Apa pasal entah.... Bisa
ditanyakan pada ahli elektronik.
Saya memilih menyimak stasiun radio dari kabupaten sebelah kendati di
kampung saya satu radio swasta juga memutar sandiwara yang sama. Mau
tahu alasannya? Sebab sandiwara radio dari stasiun kabupaten seberang
selalu satu seri lebih dulu dibanding dari stasiun radio tempat saya.
Dengan demikian, di sekolah, saya bisa pamer menceritakan lanjutan kisah
Babad Tanah Leluhur yang baru diputar di radio setempat esoknya. Dan
teman-teman saya akan mendengarkan cerita saya dengan tekun dan penuh
perhatian....
Jadi semata untuk sandiwara radio itulah Ibu membelikan saya batere. Ya,
sandiwara radio. Jika Anda produk 80-an dan tinggal bukan di kota
besar, Anda kemungkinan besar juga teracuni polusi sandiwara radio.
Siapa yang tak kenal Brama Kumbara? Siapa yang meragukan kehebatan
Sembara dengan cambuk kilatnya? Siapa yang tak merinding mendengar kikik
Mak Lampir? Siapa yang tak mengakui kedigjayaan Mantili dengan pedang
setan dan pedang peraknya? Dan siapa yang tak terpana mendengar
penggambaran Lasmini yang cantik bahenol, genit namun sakti mandraguna?
Tentang Mak Lampir ini, satu pertanyaan saya yang tak terjawab hingga
kini : mengapa nenek siluman jahat yang satu ini demikian ceria dan
bahagia? Setiap saat ia muncul selalu tak ketinggalan tawa yang
mengikik. Tak sekali dua kali, melainkan nyaris sepanjang waktu.
Sungguh, betapa periang nenek kita ini....
Legenda Bertabur Obat-Obatan
Kebanyakan sandiwara radio di era 80-an disponsori oleh perusahaan
obat-obatan dan farmasi. Dan boleh dikatakan Kalbe Farma adalah yang
tersukses dari sponsor-sponsor tersebut. Dua serial sandiwara radio Saur
Sepuh dan Babad Tanah Leluhur usungan Kalbe Farma sukses memanen
penggemar. Saur Sepuh dikemudikan oleh Niki Kosasih sementara ide cerita
Babad Tanah Leluhur dilahirkan oleh Cece Suhyar (dengan teknik dan
montase oleh Yadi Enos dan musik oleh Harry Sabar). Lalu di belakangnya
tercatat PT Bintang Tudjuh dengan Api Di Bukit Menoreh (SH Mintarja) dan
Tutur Tinular berserta sekuelnya Mahkota Mayangkara (S Tijab).
Sementara PT Medifarma melahirkan Misteri dari Gunung Merapi dan
sekuelnya Mustika dari Gunung Merapi (Asmadi Sjafar). Di belakang
serial-serial ini, mengikut serial-serial lain yang juga sukses namun
tak mampu menghimpun sebanyak pendengar serial-serial di atas. Tercatat
Putri Cadar Biru (satu lagi dari Kalbe Farma), Misteri Gandrung Aru,
Jaka Badak, Mahabrata, Kaca Benggala, Galang Gemilang, Ibuku Sayang
Ibuku Malang, dan satu milik pemerintah yang berumur sangat panjang,
Butir-Butir Pasir di Laut. Sebagaimana halnya iklan di teve, iklan obat
di sandiwara radio pun biasanya menyelinap di saat-saat menegangkan.
Dengan durasi 30 menit, umumnya selingan iklan muncul sebanyak tiga
sampai empat kali. Di opening jingle sederet iklan pun diperdengarkan
sebelum masuk ke dalam cerita. Hingga kini saya tak bisa mengenyahkan
jingle iklan Kalpanax, Micorex, Procold, Promag, Entrostop, Puyer obat
sakit kepala cap 19, Decolsin, Decolgen, dan sederet obat-obatan lainnya
dari kepala saya. Ya, saya telah tercuci otak oleh iklan sandiwara
radio.
Dan persaingan melahirkan benih pertikaian. Kalpanax (Kalbe Farma) dan
Micorex (Bintang Tujuh), keduanya berjenis obat antipanu dan antikutu
air, memperoleh lahan buat menjatuhkan pesaing. Kalpanax (dengan cairan
berwarna merah) yang lebih dahulu hadir tersinggung saat Micorex meledek
ketidakmanjuran obar berwarna merah dalam iklan radionya. Sebagai
pembalasan Kalpanax balas meledek Micorex yang berwarna biru dengan
sebutan : spiritus bakar untuk lampu petromax.
Saur Sepuh
Dongeng Sejarah dan Aji Maha Sakti
Belakangan setelah kuliah saya baru mengerti dan mulai membangun teori
mengapa sandiwara radio yang hanya mengandalkan kuping demikian lekat di
hati rakyat jelata (dalam bahasa saur sepuh : kawula alit). Untuk
rakyat kebanyakan, serial sandiwara radio yang kebanyakan berupa
carangan (kisah fiktif yang menempel pada fakta sejarah) dianggap
sebagai hiburan yang murah meriah, yang bahkan sering dianggap bagian
dari sejarah itu sendiri. Saur Sepuh melekat pada sejarah kerajaan
Majapahit dan Silihwangi, Babad Tanah Leluhur mendomplengi sejarah
kerajaan Mataram Hindu, Tutur Tinular dan Mahkota Mayangkara berpegang
pada babad kerajaan Singosari dan Majapahit (sama halnya dengan Misteri
Gandrung Aru), sementara Api di Bukit Menoreh dan Putri Cadar Biru
merujuk pada kerajaan Demak dan Mataram Islam. Putri Cadar Biru malah
memilih latar perjuangan kerajaan Mataram Islam melawan penjajah asing.
Sementara untuk anak-anak, sandiwara radio menumbuhsuburkan imajinasi,
melatih daya khayali yang terstimuli hanya dari telinga. Saat bermain
silat-silatan, tak jarang terdengar teriakan : Cambuk kilat, hiaaat!
Atau Ajian Serat Jiwa, ciaaat! Atau, terimalah ini : Pukulan Seribu
Geledek Tegalan Turu, jeddeeerrrr! Ya, memalukan memang. Tapi
demikianlah kanak-kanak. Saya sendiri waktu itu punya ajian sakti :
Kincir Metu dan Banyucakrabuana dari serial Babad Tanah Leluhur. Untuk
Kincir Metu, saya akan berputar-putar sembari maju menghampiri 'musuh',
dan untuk Banyucakrabuana, saya akan berputar sekali, merentangkan
tangan ke atas lalu mendorong ke depan (mirip-mirip kamehame). Tentu
saja tak terjadi apa-apa saat saya melepaskan 'ajian sakti' tersebut,
selain rasa pusing dan mual akibat berputar-putar terlalu lama....
Di sekolah pun racun sandiwara radio masih memperlihatkan pengaruhnya.
Saat jam menggambar bebas, saya memilih menggambar tokoh favorit saya :
Brama, dengan otot menonjol di sana-sini plus mahkota di kepala (kendati
si Ferry Fadly pengisi suara bertubuh ceking mendekati kurus), Lasmini,
dengan buah dada ekstra besar (setidaknya itu gambaran masa kecil saya
tentang wanita penggoda), dan Mantili yang selalu menenteng pedang bak
tukang jagal. Dan tentu saja pertengkaran antar teman di jam istirahat
(yang kadang berakhir dengan perkelahian), tentang tokoh siapa yang
lebih jago. Atau berlomba-lomba menebak-nebak kisah selanjutnya. Sebab
tak ada yang mau mengalah, maka terkadang pertengkaran diselesaikan
dengan berantem, dengan kepalan, zonder aji-ajian....
No comments:
Post a Comment